BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Gagal
ginjal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan
natrium dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di
tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju
filtrasi glomerulus (GFR), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum
dan kreatinin). Laju filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan
kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea
darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh
oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Gagal ginjal akut
adalah sindrom yang terdiri dari penurunan kemampuan filtrasi ginjal (jam
sampai hari), retensi produk buangan dari nitrogen, gangguan elektrolit dan
asam basa. Gagal ginjal akut sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda
peningkatan konsentrasi ureum dan kreatinin.
Gagal ginjal akut berat
yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini
akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang
karena usia pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.
Di negara maju, angka
penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya,
angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166
ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus.
Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih
dari 650 ribu (Djoko, 2008).
Hal
yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi
peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang
tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan
hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan,
dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80
tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000
penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di
Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di
indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007
menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai
penyebab kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien
ginjal, terutama GGA, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat
ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian
besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas kedokteran.
Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit GGA
terabaikan.
Melihat
situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali
menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit
ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara
rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa
fisik tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan darah,
serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah yang normal bila
menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein dalam
jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman
beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5
liter). (Djoko, 2008).
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
definis dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
2. Apa
etiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
3. Apa
sajakah klasifikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
4. Apa
manifestasi klinis GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
5. Bagaimana
WOC dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
6. Bagaimana
patofisiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
7. Apa
sajakah pemeriksaan penunjang dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
8. Apa
sajakah pemeriksaan dignostik dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
9. Bagaimana
penatalaksanaan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
10. Apa
sajakah komplikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
11. Bagaimana
asuhan keperawatan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan
Umum
Untuk menjelaskan dan
mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara menyusun asuhan keperawatan
pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal baik yang bersifat akut.
1.3.2
Tujuan
Khusus
1.
Agar mahasiswa mengerti tentang definisi
dari gagal ginjal akut.
2.
Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi
dari gagal ginjal akut.
3.
Agar mahasiswa mengetahui tentang
klasifikasi dari gagal ginjal akut.
4.
Agar mahasiswa mengetahui tentang
manifestasi klinis dari gagal ginjal akut.
5.
Agar mahasiswa dapat memahami tentang
WOC dari gagal ginjal akut.
6.
Agar mahasiswa dapat memahami tentang
patofisiologi dari gagal ginjal akut.
7. Agar mahasiswa dapat mengerti dan
memahami tentang pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal akut.
8. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami
tentang pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal akut.
9.
Agar mahasiswa mengetahui tentang
penatalaksanaan dari gagal ginjal akut.
10. Agar
mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut.
11. Agar
mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gagal ginjal akut.
1.4
Manfaat
Dengan adanya makalah
ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat
menambah wawasan dan informasi dalam penanganan gagal ginjal akut
dan
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut
secara tepat dan benar, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses
keperawatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Gagal ginjal terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam
cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal
merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai
penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010).
Gagal ginjal akut
adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-produk limbah
metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat
azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan
aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan
Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebab-penyebab yang
berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan dengan
trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada
kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori
renal, renal dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan
Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi
ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006).
Gagal
ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan
kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk
keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau
patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan
cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari
kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang
menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).
2.2
Etiologi
Sampai
saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan
tiga kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran
darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal
ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan
histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak
segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi
ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1)
Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka
bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik
yang berlebih)
2)
Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3)
Penurunan curah jantung (disaritmia,
infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli paru)
4)
Obstruksi pembuluh darah ginjal
bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul
akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau
tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena
hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta
nekrosis jaringan ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau
dapat juga berlangsung perlahan–lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia.
Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan
iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab
kelainan ini adala :
1)
Koagulasi intravaskuler, seperti pada
sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan renjatan hemoragik.
2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis
akut pasca sreptococcus, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor
ginjal.
3)
Penyakit neoplastik akut seperti
leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung menginfiltrasi ginjal dan
menimbulkan kerusakan.
4)
Nekrosis ginjal akut misal nekrosis
tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin (kloroform,
sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria.
5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan
gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai
penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan
kehilangan faal ginjal secara progresif.
6)
Glomerulonefritis kronik dengan
kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal
/ Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan
dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi
pascarenal terutama obstruksi aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik
ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal
atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut :
1)
Obstruksi muara vesika urinaria:
hipertropi prostat< karsinoma
2) Obstruksi ureter bilateral oleh
obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan dari tumor (Tambayong,
2000).
2.3 Klasifikasi
Tabel
Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).
Kategori
|
Peningkatan
Kadar Serum Cr
|
Penurunan
Laju Filtrasi Glomerulus
|
Kriteria
Urine Output
|
Risk
|
>1,5
kali nilai dasar
|
>25%
nilai dasar
|
<0,5
mL/kg/jam,
>6 jam
|
Injury
|
>2,0
kali nilai dasar
|
>50%
nilai dasar
|
<0,5
mL/kg/jam,
>12 jam
|
Failure
|
>3,0
kali nilai dasar
|
>75%
nilai dasar
|
<0,3
mL/kg/jam, >24 jam
|
Loss
|
Penurunan
fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Minggu
|
||
End stage
|
Penurunan
fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
|
2.4 Manifestasi
Klinis
Menurut
Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal
ginjal akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24
jam.
a. Periode
awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium
oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang
dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi
yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta
kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul
dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak
berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah,
apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi,
hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium
diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan
peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi
renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya
dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya
meningkat.
1)
Stadium GGA dimulai bila keluaran urine
lebih dari 400 ml/hari
2)
Berlangsung 2-3 minggu
3)
Pengeluaran urine harian jarang melebihi
4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih
4)
Tingginya kadar urea darah
5)
Kemungkinan menderita kekurangan kalium,
natrium dan air
6)
Selama stadium dini dieresis, kadar BUN
mungkin meningkat terus
d. Stadium
penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung
sampai satu tahun, dan
selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai
laboratorium akan kembali normal.
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:
1) Penderita tampak sangat menderita dan
letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
2)
Nokturia (buang air kecil di malam
hari).
3) Pembengkakan tungkai, kaki atau
pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan
cairan).
4)
Berkurangnya rasa, terutama di tangan
atau kaki.
5)
Tremor tangan.
6)
Kulit dari membran mukosa kering akibat
dehidrasi.
7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik),
dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya pneumonia uremik.
8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit
kepala, kedutan otot, dan kejang).
9) Perubahan pengeluaran produksi urine
(sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010
gr/ml)
10) Peningkatan konsentrasi serum urea
(tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme
(pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
11) Pada kasus yang datang terlambat gejala
komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan
berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
2.6 Patofisiologi
Meskipun sudah ada kesepakatan
mengenai patologi kerusakan ginjal ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis
tubular acute), tetapi masih
ada kontroversi mengenai patogenitas penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang
biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai faktor-faktor
penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan
percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan
merkuri klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik
ditimbulkan renalis.
Menurut Price,
(2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu
sebagai berikut :
a. Obstruksi tubulus
b. Kebocoran cairan tubulus
c. Penurunan permeabilitas glomerulus
d. Disfungsi vasomotor
e. Umpan balik tubulo-glomerulus
Tidak satupun dari mekanisme diatas
yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis
tubular acute) yang
bervariasi itu (schrier, 1986).
Teori obstruksi tubulus menyatakan
bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan deskuamasi sel
tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian membentuk
silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat
iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia.
Tekanan intratubulus menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.
Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF (acute
renal fallure) yang
disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan.
Hipotesis kebocoran tubulus
mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal tetapi cairan
tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke
dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA
(necrosis
tubular acute) yang berat, yang merupakan dasar anatomic
mekanisme ini.
Meskipun sindrom NTA (necrosis
tubular acute) menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal,
bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel
kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis mengalami perubahan yang
mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini
mengakibatkan penurunan ultrafiltasi glomerulus.
Aliran darah ginjal total (RBF)
dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok
dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada
kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih
rendah dari pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang.
Selain itu, bukti-bukti percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang dari 5%
sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal (merriill, 1971).
Dengan demikian hipoperfusi ginjal
saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang terjadi pada
ARF (acute
renal fallure).
Meskipun demikian, terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran
darah intrarenal dari korteks ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang.
Pada ginjal normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke korteks (glomeruli)
dan 10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin dan
menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi
korteks dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative
pada korteks ginjal. Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Iskemia ginjal akan mengaktifasi
sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks setelah hilangnya
rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar ginjal,
tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF (acute
renal fallure) pada hewan maupun manusia (schrier, 1996).
Beberapa penulis mengajukan teori
mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF (acute
renal fallure). Dalam
keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis prostaglandin E dan
prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran
darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia
akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostaglandin
ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat
menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan NTA (necrosis
tubular acute) (Harter,
martin, 1982).
Umpan balik tubuloglomerulus
merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal diregulasi oleh reseptor
dalam makula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan ujung
glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus kea rah distal tidak
mencukupi, kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat
melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh
karena itu TGF merupakan mekanisme protektif. Pada NTA (necrosis
tubular acute),
kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorbs tubulus. TGF
diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR (glomerular
filtration rate) pada
keadaan NTA (necrosis tubular acute) dengan menyebabkan konstriksi
arteriol aferen atau kontriksi mesangial atau keduanya, yang berturut-turut
menurun kan permeabilitas dan tekanan kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu,
penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a.
Darah:
ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
b.
Urin:
ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c.
Kenaikan
sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
d.
Gangguan
keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
e. Gangguan
keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia,
hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
f.
Volume
urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah
ginjal rusak.
g.
Warna
urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin,
porfirin.
h. Berat
jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh:
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan;
menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
i.
PH
Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal
ginjal kronik.
j.
Osmolaritas
urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio
urine/serum sering.
k. Klierens
kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin
serum menunjukan peningkatan bermakna.
l. Natrium
Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak
mampu mengabsorbsi natrium.
m. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada
asidosis metabolik.
n.
SDM
urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
o. Protein:
protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila
SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM
menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada
proteinuria minimal.
p. Warna
tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular
dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik
pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a.
Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan yang terjadi berhubungan
dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
b.
Kajian foto toraks dan abdomen
Perubahan yang terjadi berhubungan
dengan retensi cairan.
c.
Osmolalitas serum
Lebih dari 285 mOsm/kg
d.
Pelogram Retrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e.
Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
g.
Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular
2.9 Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan
secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis
meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian
diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik,
dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan
pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat,
gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk
mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan
mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian
klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi
ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b. Penatalaksanaan
gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan
natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup
500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah
urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa
melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan
insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada
kedaruratan jantung dan dialisis.
3)
Pemberian manitol atau furosemid jika
dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi oliguria.
4) Mencegah dan memperbaiki infeksi,
terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus
segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis
obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan
saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan
endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai
penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin)
diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi
sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi
kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum
continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang
intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan
untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak
adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
7)
Monitoring keseimbangan cairan,
pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan,
monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
8)
Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan
cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut;
hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini.
Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian
pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5
mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi),
dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema.
2.10 Komplikasi
a. Jantung:
edema paru, aritmia, efusi pericardium.
b. Gangguan
elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
c. Neurologi:
iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang.
d. Gastrointestinal:
nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal.
e. Hematologi:
anemia, diathesis hemoragik.
f. Infeksi:
pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.
BAB
3
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
a.
Pengkajian
Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang
diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien
yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis.
Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia
manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka
serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas
penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan,
hubungan dengan si penderita.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan
utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. RiwayatPenyakit
Sekarang
Pengkajian
ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal
dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan
jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada
hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah
melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah
mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau
pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya
riwayat trauma langsung pada ginjal.
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji
adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi
terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
4.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam
keluarga.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan
umum dan TTV
Keadaan
umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan
adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh
meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi
meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah
terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaan
Pola Fungsi
a) B1
(Breathing).
Pada
periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas
yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien
bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada
beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga
didapatkan pernapasan kussmaul.
b) B2
(Blood).
Pada
kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom
uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang
menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari
saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi
jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
c) B3
(Brain).
Gangguan
status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia,
ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder
akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang
biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom
uremia.
d) B4
(Bladder).
Perubahan
pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi
peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan
warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
e) B5
(Bowel).
Didapatkan
adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6
(Bone).
Didapatkan
adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.
d.
Pemeriksaan
Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis
<1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA,
dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan
rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin.
Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung
pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan
protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin
serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang
mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan
kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam
cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan
disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak
dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk
oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan
pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
e.
Penatalaksanaan
Medis
Tujuan
penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis.
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi
hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui
retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium
menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi
cairan
4. Diet
rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi
asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
3.2
Diagnosa
Keperawatan
a. Defisit
volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
b. Pola
nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons
asidosis metabolik.
c. Risiko
tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
d.
Aktual/risiko
perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolik
e.
Aktual/risiko
tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
3.3
Intervensi
a. Defisit
volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
Tujuan:
Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit
volume cairan dapat teratasi
Kriteria:
Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv
normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium:
nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun\
Intervensi:
1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran
mukosa, urine output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti
ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan
menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600
ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2. Kaji
keadaan edema
R: Edema menunjukan
perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas sehingga mudah ditensi oleh
akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
3. Kontrol
intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal,
kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan.
4. Timbang
berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari
membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.
5. Beritahu
keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk
menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak
nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan
caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
6. Penatalaksanaan
pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan
lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume
urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
7. Kolaborasi
pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari
pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi
kegagalan ginjal.
b. Pola
nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis
metabolik.
Tujuan: setelah
diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola
nafas
Kriteria:
klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
1.
Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal
dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi
untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic.
2.
Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak
pada risiko asidosis yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk
secepatnya melakukan koreksi asidosis.
3.
Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan
ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan
tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah.
4.
Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung,
mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine
output.
5. Kolaborasi
berikan
cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya
merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan
selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan
ini.
6. Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah
adalah masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan
sumber klorida.
7.
Pantau data laboratorium analisis gas
darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik
adalah meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi
sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari
analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan
c. Risiko
tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
Tujuan: setelah
diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi
Kriteria:
klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
1. Kaji
dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R:
Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus
bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
2. Kaji
stimulus kejang.
R:
Stimulus kejang pada tetanus
adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
3. Monitor
klien yang berisiko hipokalsemi
R:
Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan
kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus
dipertimbangkan.
4. Hindari
konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang
tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan
ekskresi kalsium urine
5. Garam
kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk
kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium
klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering
digunakan karena cairan tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan
peluruhan jaringan jika dibiarkan menginfiltrasi
6. Tingkatan
masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai
setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan
(produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster
segar)
7. Monitor
pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi
d.
Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah
diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak dapat
tercapai secara optimal
Kriteria:
klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang.
GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak
mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia,
dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang.
Intervensi:
1. Monitor
tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R:
Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2. Monitor
tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
R:
Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik
yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan
sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan
suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
3. Bantu
klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas
apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R:
Aktivitas ini dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen.
Mengeluarkan napas sewaktu
bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
4. Anjurkan
klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R:
Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial
terjadi perdarahan ulang.
5. Monitor
kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis,
hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali
ke sel.
f.
Risiko tinggi
aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
Tujuan: setelah
diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia.
Kriteria:
Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak
terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit
neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
1.
Kaji faktor
penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi.
R:
Banyak faktor yang menyebabkan
hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor penyebab.
2. Beri
diet rendah kalium
R:
Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi,
cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum
utuh. Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya,
makanan dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah,
atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root
beer, gula dan madu.
3. Memonitor
tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R:
Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien
hipokalemi.
4. Monitoring
klien yang berisiko terjadi hipokalemi
R:
Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk,
dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal
lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung
kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium
berlebihan latrogenik.
5. Monitoring
klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium
R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia
adalah mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena
hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan
pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak terjadi
pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi.
6. Pemberian
kalsium glukonat.
R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml
diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya
terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.
7. Pemberian
glukosa 10%.
R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U
insulin regular akan memindahkan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam
waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam.
8. Pemberian
natrum bikarbonat.
R: Natrium
bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K+ ke
dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa
jam.
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Gagal
ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan
kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk
keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau
patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan
cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut
Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
a. Periode
awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium
oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang
dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi
yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta
kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul
dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi,
anak-anak berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala–gejala uremia (pusing,
muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi,
hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium
diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan
peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi
renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya
dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya
meningkat.
1. Stadium
GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2. Berlangsung
2-3 minggu
3. Pengeluaran
urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi
yang berlebih
4. Tingginya
kadar urea darah
5. Kemungkinan
menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6. Selama
stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium
penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung
sampai satu tahun, dan
selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai
laboratorium akan kembali normal.
4.2
Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan
diharapkan dapat memehami dan mengetahui penyebab, bahaya serta cara pencegahan
yang ditimbulkan dari GGA (gagal ginjal akut) sehingga dalam melakukan tindakan
keperawatan di masa mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
standart asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita
Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M.
2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar